Hasil Analisis Masalah Tentang RUU Pertembakauan
Senin, 9 Februari
2015 telah dilaksanakan sidang paripurna yang merupakan sidang tertinggi dalam
penetapan kebijakan oleh DPR RI. Sidang tersebut menetapkan Rancangan
Undang-Undang (RUU) sebagai prolegnas tahun 2014-2019. Badan Legislasi (Baleg)
DPR RI kemudian memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun
2015. RUU Pertembakauan ini kemudian mengundang pro dan kontra dalam
masyarakat, juga dalam tatanan pemerintahan itu sendiri. Kemudian timbul banyak
tanda tanya baik itu dalam aspek ekonomi, petani, industri, dan khususnya dalam
aspek KESEHATAN MASYARAKAT.
Tulus Abadi, pengurus
harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang juga merupakan pengurus
dari Komisi Nasional (Komnas) pengendalian tembakau mengatakan bahwa “RUU Pertembakauan akan menghapuskan beberapa pasal dalam
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahaya
rokok,” melalui siaran pers di Jakarta (11/02).
Pengesahan tersebut merupakan sebuah langkah yang gegabah dan merupakan
kemunduran yang luar biasa besar untuk melindungi masyarakat Indonesia dari
bahaya dan dampak buruk rokok atau tembakau. Dalam bidang kesehatan masyarakat,
seminim apapun pengetahuan yang kita miliki mengenai bahaya kesehatan rokok,
kita tetap bisa mengetahuinya lewat iklan maupun kalimat peringatan yang
tertera pada bungkus rokok. Namun pemberitahuan yang tanpa disertai tindakan
preventif nyata dari pemerintah berdampak pada kegagalan pemerintah dalam pemantapan
status kesehatan rakyatnya. Tidak adanya kesadaran (rehabilitasi) baik pelaku
perokok itu sendiri maupun yang tidak merokok akan bahaya yang dapat
ditimbulkan oleh rokok tersebut malah akan menambah jumlah korban kematian. Tidak
menjadi perokok tapi berada di lingkungan para perokok mempunyai risiko
gangguan kesehatan yang sama besarnya. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) kematian para perokok pasif di seluruh dunia mencapai 600.000 orang per
tahun. Ini angka yang hampir sama dengan kematian perokok di dunia sebanyak 1
juta orang per tahun.
Dilihat dari sudut
pandang ekonomi dan industri, Indonesia masih sangat menggantungkan penerimaan
dari produk tembakau, terlebih lagi dilihat dari cara menteri keuangan yang
meningkatkan produksi batang rokok, bukannya mengusahakan penerimaan dari
produk lain. Direktur Penerimaan dan
Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu,
Susiwijono Moegiarso, mengatakan penerimaan di sektor cukai masih didominasi
produk tembakau, di antaranya rokok. Dari total cukai bulan Februari 2014
senilai Rp12,9 triliun, 98 persen disumbang oleh hasil tembakau. Menurut Susi,
faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai hasil tembakau adalah tingginya
volume produksi komoditas tersebut. Kenaikan APBN pada tahun 2014 meningkat
cukup tinggi dari tahun 2013. Sementara untuk cukai rokok sendiri tidak
mengalami kenaikan, sehingga untuk mencapai target penerimaan diperlukan
peningkatan produksi rokok sebanyak 4,8 persen di tahun 2014 atau setara dengan
5 miliar batang rokok dibandingkan dengan tahun sebelumnya. RUU pertembakauan
ini nantinya hanya akan menguntungkan para industri rokok, yaitu melindungi
kepentingan industry rokok dan untuk terus meningkatkan produksi rokok.
Sedangkan dilihat dari sudut pandang
kesejahteraan petani tembakau dan penyerapan tenaga kerja, menurut Koordinator
Nasional Komunitas Kretek, Abhisam Madosa menganggap RUU pertembakauan
merupakan sebuah “win-win solution” untuk menengahi pihak-pihak yang pro dan
kontra terhadap tembakau. Selama tembakau masih berstatus legal di Indonesia
maka seluruh aspek yang terkait di dalamnya seperti petani dan pengrajin
tembakau, khususnya tradisional dan rumahan, juga memiliki hak perlindungan
yang sama dalam mendapatkan perlindungan. Mereka berargumen bahwa para petani
tembakau di Indonesia butuh suatu peraturan yang menunjang ekonomi mereka.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa Indonesia masih cenderung
mengimpor tembakau dari negeri seberang. Padahal, produksi tembakau Indoenesia
dikenal salah satu yang terbaik di dunia. Para petani tembakau jelas bergembira
dan segera menyetujui peraturan ini dengan serta merta. Begitu besar
harapan mereka, supaya kehidupan terasa semakin sejahtera.
Namun
nyatanya, di sebuah pabrik rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang bermitra
dengan perusahaan rokok di Inggris, seorang buruh dipekerjakan selama 60 jam
dalam seminggu. Padahal jika melihat Pasal 77 UU No 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan ayat 2, yang mana mengatur waktu kerja, waktu maksimal seorang
pekerja dalam seminggu hanyalah 40 jam. Libur bagi mereka hanya di hari Minggu.
Pada libur tanggal merah di hari lain mereka tetap dipaksa untuk bekerja, yang
mana pihak perusahaan menamainya kerja lembur. Namun betapa mirisnya, mereka
tak pernah mendapatkan upah tambahan dari kerja ‘lembur’ mereka. Disini bisa
dilihat betapa tidak adanya keadilan ketika kepentingan industri yang di
utamakan tanpa memperhatikan dan memperdulikan kepentingan pekerja. Pihak petani
berfikiran akan mencari kerja lain yang upahnya lebih dari upah selama mereka
menjadi petani tembakau, baik itu petani padi, kopi, maupun jagung yang
jelas-jelas juga merupakan omset besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan
negara.
Peran serta organisasi
pemerintah dan non pemerintah terhadap RUU pertembakauan ini sudah ikut ambil
andil. studi
di tiga wilayah penghasilan utama tembakau yang dilakukan oleh Lembaga
Demografi Fakultas Ekonomi (LD-FEUI) bekerjasama dengan Tobacco Control
Support Center dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI).
Penelitian tersebut dilaksanakan pada bulan Juli-September 2008 di Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan di NTB dengan
responden sebanyak 451 orang buruh tani dan 66 orang petani penggarap.
64% petani menyatakan ingin beralih ke usaha lain seandainya ada usaha lain
dengan keuntungan lebih besar atau minimal sama, jenis pertanian yang hendak
dikembangkan oleh kelompok petani ini paling banyak adalah padi, jagung, sayur-sayuran,
cabe dan kacang-kacangan. Smoke Free Agents (SFA) adalah sebuah komunitas
pengendalian tembakau yang berafiliasi dengan berbagai organisasi dan
perorangan yang mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu untuk menciptakan
Indonesia yang sehat tanpa asap rokok. SFA telah memuat banyak kritikan dan
tolakan terkait RUU pertembakauan ini di media social dengan berbagai
pertimbangan dan referensi dari pihak-pihak pemerintah.
Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan suatu perjanjian internasional
tentang tembakau yang bersifat menyeluruh. Perjanjian ini mengatur produksi,
penjualan, distribusi, iklan, dan perpajakan tembakau. Kesemuanya dimaksudkan
untuk menekan penggunaan tembakau. Indonesia
adalah salah satu negara yang ketika itu ikut terlibat dalam penyusunan isi
konvensi. Tapi hal yang tidak disangka terjadi, penguasa kala itu enggan
meratifikasi bahkan hingga kini. Alasannya klasik. Ya, kita merasa masih sangat
bergantung dengan keberadaan industri rokok dikarenakan cukai yang dihasilkan
sangat besar, sebagaimana yang telah diulas di awal tadi. Sebanyak 177 negara
di dunia telah meratifikasi FCTC, dan Indonesia termasuk salah satu dari
delapan negara yang belum kunjung mengaksesinya. Keterlibatan
LSM dalam putaran perundingan FCTC melalui jalur partisipasi formal maupun
informal. Dalam partisipasi formal, WHO memiliki aturan tertentu mengenai
keikutsertaan LSM dalam negosiasi formal WHO, yakni melalui pemberian status
‘Official Relations’ (Collins, 2002: 277). Status istimewa ini diperoleh
setelah melewati serangkaian proses yang panjang. LSM yang mengajukan diri
untuk mendapatkan status spesial tersebut biasanya adalah LSM profesional yang
berkesimpung di bidang kesehatan.
Jadi, apa yang
seharusnya dilakukan pemerintah dengan RUU ini ?
Menurut pendapat saya, pemerintah
seharusnya MENOLAK RUU ini, dan
segera meratifikasi Framework Convention
on Tobacco Control (FCTC) karena FCTC merupakan solusi yang paling tepat
untuk mengimbangi para Industri rokok dengan permasalahan-permasalahan kesehatan
yang muncul. Indonesia tidak butuh RUU pertembakauan tapi, Indonesia butuh
melakukan aksesi FTCT. FCTC lah yang akan memberikan perlindungan terhadap
kesehatan dan petani tembakau. Dengan FCTC produksi serta pemasaran rokok
memang akan sangat dibatasi, hanya rokok dengan
kadar nikotin rendah yang bisa beredar dengan bebas di pasaran. Namun hal ini
tentunya diimbangi dengan diadakannya penelitian terkait produk hasil tembakau
dengan kualitas yang sesuai harapan. Dalam salah satu poin FCTC ditegaskan bahwa
negara harus memfasilitasi dan mempermudah akses penelitian terkait tembakau.
Disini dampak baiknya. Para akademisi yang mumpuni di bidangnya, akan sangat
berguna untuk meneliti serta mengkaji tembakau. Sehingga ke depannya diharapkan
akan muncul suatu varietas tembakau yang tidak lagi memicu adiksi. Atau bisa
juga peneliti mengembangkan suatu produk olahan tembakau untuk diproduksi dalam
sector yang lain selain industri rokok, yang sekiranya menimbulkan efek buruk
seminimal mungkin. Akhirnya dengan begitu, petani tembakau tidak perlu
meninggalkan mata pencahariannya. Seperti yang kita ketahui bahwa rokok itu racun, bahwa rokok itu
menyebabkan begitu banyak penyakit, bahwa sudah lima juta orang (yang sebagian
besarnya ada di negara negara miskin dan berkembang) setiap tahun mati karena
penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok, tapi kita tidak berbuat apa
apa.
Coba fikirkan tentang jutaan rakyat yang merasa tidak mampu membeli
susu buat anak-anak mereka sementara mampu membeli rokok Rp 12.000. Pikirkan
tentang jutaan anak yang putus sekolah, yang katanya karena bapaknya tidak
punya biaya, padahal harga rokok bapaknya sebulan minimal Rp 250 ribu. Pikirkan
juga tentang anak-anak pelajar SD dan SMP yang telah turut “membiayai”
pembangunan lewat cukai rokok, karena mereka telah membeli rokok. Sungguh sangat disayangkan ketika pemerintah
terus menolak meratifikasi FCTC itu padahal sudah lebih 170 negara yang telah
melakukannya. Jika memang RUU Pertembakauan mencakup semua aspek
seperti perindustrian, pertanian, dan kesehatan, yang secara substantif telah
diatur dalam undang-undang lain, dengan tujuan utama menjamin kesejahteraan
buruh tani tembakau, maka titik tekan arah pengaturannya seharusnya adalah pada
diversifikasi dan pelarangan impor tembakau serta pemberhantian mekanisasi oleh
industri rokok besar. Jadi, seberapa besar kita membutuhkan RUU Pertembakauan?
Untuk petani? Padahal sudah ada UU No.
19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; untuk melindungi
kretek? Padahal sudah ada dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Perlindungan Cagar
Budaya; untuk mengatur industri? Sudah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2013 tentang
Perindustrian; untuk melindungi tanaman tembakau? Sudah juga diatur dalam UU
No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar