Rabu, 23 Maret 2016

Analisis Masalah RUU Pertembakauan

Hasil Analisis Masalah Tentang RUU Pertembakauan
Senin, 9 Februari 2015 telah dilaksanakan sidang paripurna yang merupakan sidang tertinggi dalam penetapan kebijakan oleh DPR RI. Sidang tersebut menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) sebagai prolegnas tahun 2014-2019. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI kemudian memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU)  tentang Pertembakauan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun  2015. RUU Pertembakauan ini kemudian mengundang pro dan kontra dalam masyarakat, juga dalam tatanan pemerintahan itu sendiri. Kemudian timbul banyak tanda tanya baik itu dalam aspek ekonomi, petani, industri, dan khususnya dalam aspek KESEHATAN MASYARAKAT.
Tulus Abadi, pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang juga merupakan pengurus dari Komisi Nasional (Komnas) pengendalian tembakau mengatakan bahwa “RUU Pertembakauan akan menghapuskan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mengatur bahaya rokok,” melalui siaran pers di Jakarta (11/02). Pengesahan tersebut merupakan sebuah langkah yang gegabah dan merupakan kemunduran yang luar biasa besar untuk melindungi masyarakat Indonesia dari bahaya dan dampak buruk rokok atau tembakau. Dalam bidang kesehatan masyarakat, seminim apapun pengetahuan yang kita miliki mengenai bahaya kesehatan rokok, kita tetap bisa mengetahuinya lewat iklan maupun kalimat peringatan yang tertera pada bungkus rokok. Namun pemberitahuan yang tanpa disertai tindakan preventif nyata dari pemerintah berdampak pada kegagalan pemerintah dalam pemantapan status kesehatan rakyatnya. Tidak adanya kesadaran (rehabilitasi) baik pelaku perokok itu sendiri maupun yang tidak merokok akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh rokok tersebut malah akan menambah jumlah korban kematian. Tidak menjadi perokok tapi berada di lingkungan para perokok mempunyai risiko gangguan kesehatan yang sama besarnya. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kematian para perokok pasif di seluruh dunia mencapai 600.000 orang per tahun. Ini angka yang hampir sama dengan kematian perokok di dunia sebanyak 1 juta orang per tahun.
Dilihat dari sudut pandang ekonomi dan industri, Indonesia masih sangat menggantungkan penerimaan dari produk tembakau, terlebih lagi dilihat dari cara menteri keuangan yang meningkatkan produksi batang rokok, bukannya mengusahakan penerimaan dari produk lain. Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Kementerian Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu, Susiwijono Moegiarso, mengatakan penerimaan di sektor cukai masih didominasi produk tembakau, di antaranya rokok. Dari total cukai bulan Februari 2014 senilai Rp12,9 triliun, 98 persen disumbang oleh hasil tembakau. Menurut Susi, faktor utama yang mempengaruhi penerimaan cukai hasil tembakau adalah tingginya volume produksi komoditas tersebut. Kenaikan APBN pada tahun 2014 meningkat cukup tinggi dari tahun 2013. Sementara untuk cukai rokok sendiri tidak mengalami kenaikan, sehingga untuk mencapai target penerimaan diperlukan peningkatan produksi rokok sebanyak 4,8 persen di tahun 2014 atau setara dengan 5 miliar batang rokok dibandingkan dengan tahun sebelumnya. RUU pertembakauan ini nantinya hanya akan menguntungkan para industri rokok, yaitu melindungi kepentingan industry rokok dan untuk terus meningkatkan produksi rokok.
Sedangkan dilihat dari sudut pandang kesejahteraan petani tembakau dan penyerapan tenaga kerja, menurut Koordinator Nasional Komunitas Kretek, Abhisam Madosa menganggap RUU pertembakauan merupakan sebuah “win-win solution” untuk menengahi pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap tembakau. Selama tembakau masih berstatus legal di Indonesia maka seluruh aspek yang terkait di dalamnya seperti petani dan pengrajin tembakau, khususnya tradisional dan rumahan, juga memiliki hak perlindungan yang sama dalam mendapatkan perlindungan. Mereka berargumen bahwa para petani tembakau di Indonesia butuh suatu peraturan yang menunjang ekonomi mereka. Salah satu alasan yang dikemukakan adalah bahwa Indonesia masih cenderung mengimpor tembakau dari negeri seberang. Padahal, produksi tembakau Indoenesia dikenal salah satu yang terbaik di dunia. Para petani tembakau jelas bergembira dan segera  menyetujui peraturan ini dengan serta merta. Begitu besar harapan mereka, supaya kehidupan terasa semakin sejahtera.
 Namun nyatanya, di sebuah pabrik rokok Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang bermitra dengan perusahaan rokok di Inggris, seorang buruh dipekerjakan selama 60 jam dalam seminggu. Padahal jika melihat Pasal 77 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ayat 2, yang mana mengatur waktu kerja, waktu maksimal seorang pekerja dalam seminggu hanyalah 40 jam. Libur bagi mereka hanya di hari Minggu. Pada libur tanggal merah di hari lain mereka tetap dipaksa untuk bekerja, yang mana pihak perusahaan menamainya kerja lembur. Namun betapa mirisnya, mereka tak pernah mendapatkan upah tambahan dari kerja ‘lembur’ mereka. Disini bisa dilihat betapa tidak adanya keadilan ketika kepentingan industri yang di utamakan tanpa memperhatikan dan memperdulikan kepentingan pekerja. Pihak petani berfikiran akan mencari kerja lain yang upahnya lebih dari upah selama mereka menjadi petani tembakau, baik itu petani padi, kopi, maupun jagung yang jelas-jelas juga merupakan omset besar dalam peningkatan ekonomi masyarakat dan negara.
Peran serta organisasi pemerintah dan non pemerintah terhadap RUU pertembakauan ini sudah ikut ambil andil. studi di tiga wilayah penghasilan utama tembakau yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi (LD-FEUI) bekerjasama dengan Tobacco Control Support Center dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI). Penelitian tersebut dilaksanakan pada bulan Juli-September 2008 di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur dan di NTB dengan responden sebanyak  451 orang buruh tani dan 66 orang petani penggarap. 64% petani menyatakan ingin beralih ke usaha lain seandainya ada usaha lain dengan keuntungan lebih besar atau minimal sama, jenis pertanian yang hendak dikembangkan oleh kelompok petani ini paling banyak adalah padi, jagung, sayur-sayuran, cabe dan kacang-kacangan. Smoke Free Agents (SFA) adalah sebuah komunitas pengendalian tembakau yang berafiliasi dengan berbagai organisasi dan perorangan yang mempunyai visi dan misi yang sama, yaitu untuk menciptakan Indonesia yang sehat tanpa asap rokok. SFA telah memuat banyak kritikan dan tolakan terkait RUU pertembakauan ini di media social dengan berbagai pertimbangan dan referensi dari pihak-pihak pemerintah.
Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) merupakan suatu perjanjian internasional tentang tembakau yang bersifat menyeluruh. Perjanjian ini mengatur produksi, penjualan, distribusi, iklan, dan perpajakan tembakau. Kesemuanya dimaksudkan untuk menekan penggunaan tembakau. Indonesia adalah salah satu negara yang ketika itu ikut terlibat dalam penyusunan isi konvensi. Tapi hal yang tidak disangka terjadi, penguasa kala itu enggan meratifikasi bahkan hingga kini. Alasannya klasik. Ya, kita merasa masih sangat bergantung dengan keberadaan industri rokok dikarenakan cukai yang dihasilkan sangat besar, sebagaimana yang telah diulas di awal tadi. Sebanyak 177 negara di dunia telah meratifikasi FCTC, dan Indonesia termasuk salah satu dari delapan negara yang belum kunjung mengaksesinya. Keterlibatan LSM dalam putaran perundingan FCTC melalui jalur partisipasi formal maupun informal. Dalam partisipasi formal, WHO memiliki aturan tertentu mengenai keikutsertaan LSM dalam negosiasi formal WHO, yakni melalui pemberian status ‘Official Relations’ (Collins, 2002: 277). Status istimewa ini diperoleh setelah melewati serangkaian proses yang panjang. LSM yang mengajukan diri untuk mendapatkan status spesial tersebut biasanya adalah LSM profesional yang berkesimpung di bidang kesehatan.
Jadi, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah dengan RUU ini ?
Menurut pendapat saya, pemerintah seharusnya MENOLAK RUU ini, dan segera meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) karena FCTC merupakan solusi yang paling tepat untuk mengimbangi para Industri rokok dengan permasalahan-permasalahan kesehatan yang muncul. Indonesia tidak butuh RUU pertembakauan tapi, Indonesia butuh melakukan aksesi FTCT. FCTC lah yang akan memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan petani tembakau. Dengan FCTC produksi serta pemasaran rokok memang akan sangat dibatasi, hanya rokok dengan kadar nikotin rendah yang bisa beredar dengan bebas di pasaran. Namun hal ini tentunya diimbangi dengan diadakannya penelitian terkait produk hasil tembakau dengan kualitas yang sesuai harapan. Dalam salah satu poin FCTC ditegaskan bahwa negara harus memfasilitasi dan mempermudah akses penelitian terkait tembakau. Disini dampak baiknya. Para akademisi yang mumpuni di bidangnya, akan sangat berguna untuk meneliti serta mengkaji tembakau. Sehingga ke depannya diharapkan akan muncul suatu varietas tembakau yang tidak lagi memicu adiksi. Atau bisa juga peneliti mengembangkan suatu produk olahan tembakau untuk diproduksi dalam sector yang lain selain industri rokok, yang sekiranya menimbulkan efek buruk seminimal mungkin. Akhirnya dengan begitu, petani tembakau tidak perlu meninggalkan mata pencahariannya. Seperti yang kita ketahui  bahwa rokok itu racun, bahwa rokok itu menyebabkan begitu banyak penyakit, bahwa sudah lima juta orang (yang sebagian besarnya ada di negara negara miskin dan berkembang) setiap tahun mati karena penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok, tapi kita tidak berbuat apa apa.
 Coba fikirkan tentang jutaan rakyat yang merasa tidak mampu membeli susu buat anak-anak mereka sementara mampu membeli rokok Rp 12.000. Pikirkan tentang jutaan anak yang putus sekolah, yang katanya karena bapaknya tidak punya biaya, padahal harga rokok bapaknya sebulan minimal Rp 250 ribu. Pikirkan juga tentang anak-anak pelajar  SD dan SMP yang telah turut “membiayai” pembangunan lewat cukai rokok, karena mereka telah membeli rokok. Sungguh sangat disayangkan ketika pemerintah terus menolak meratifikasi FCTC itu padahal sudah lebih 170 negara yang telah melakukannya. Jika memang RUU Pertembakauan mencakup semua aspek seperti perindustrian, pertanian, dan kesehatan, yang secara substantif telah diatur dalam undang-undang lain, dengan tujuan utama menjamin kesejahteraan buruh tani tembakau, maka titik tekan arah pengaturannya seharusnya adalah pada diversifikasi dan pelarangan impor tembakau serta pemberhantian mekanisasi oleh industri rokok besar. Jadi, seberapa besar kita membutuhkan RUU Pertembakauan? Untuk petani? Padahal sudah ada UU  No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; untuk melindungi kretek? Padahal sudah ada dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Perlindungan Cagar Budaya; untuk mengatur industri? Sudah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2013 tentang Perindustrian; untuk melindungi tanaman tembakau? Sudah juga diatur dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar